22.10.19

PAPANDAYAN; MENGGENGGAM KEINDAHAN PARIPURNA

Meskipun tinggal di Jawa Barat, tak banyak yang saya tau tentang Garut. Dan mungkin itu pulalah yang membuat nama Garut tak pernah terulis dalam list tempat yang ingin saya kunjungi. Seperti sudah menjadi kebiasaan, setiap awal tahun saya memang selalu menulis tempat-tempat yang ingin saya jambangi. Saya anggap itu sebagai doa, yang semoga terdengar oleh langit dan diaminkan oleh bumi.
Hingga sampailah pada suatu hari, seorang teman di sebuah group perjalanan mengajak share trips ke salah satu destinasi wisata di Garut tepatnya Gunung Papandayan. Tanpa pikir panjang,saya memutuskan untuk bergabung dengan trip itu, bukan karena sudah mengerti destinasinya, tapi karena pada waktu itu saya memang belum punya rencana kegiatan apapun. “pasti akan ada cerita berbeda dari setiap perjalanan, so why not”, Guman saya memutuskan. Yah kadang destinasi bagi saya bukanlah tujuan akhir, tapi saya lebih menikmati perjalanannya.
Dari terminal Kampung rambutan, saya memulai cerita dan kisah tentang Garut. Sebagian dari travelmate saya kali ini sudah saya kenal namun ada pula beberapa wajah baru. Meskipun baru bertatap wajah saat itu, namun kami sebenarnya sudah jauh bercengkerama melalui group online di beberapa media sosial guna mempersiapkan rencana perjalanan kami. Karena sifatnya share trip maka kami memang memerlukan kerja sama sebagai tim untuk mempersiapakan segala akomodasi perjalanan kami.
Puluhan menit setelah bus melaju, kami masih tertawa bercerita bermacam rupa. Bola mata saya pun semakin berat, tak mampu lagi menahan kantuk. Meskipun suasana masih ramai dengan cerita dan gelak tawa, pelan tapi pasti saya memasuki alam mimpi. Sebuah klakson panjang membangunkan saya dari tidur yang kata teman saya seperti orang pingsan. Setengah sadar saya menyaksikan lingkungan sekitar, ternyata sudah shubuh dan dalam bilangan menit kami akan sampai di Terminal Guntur sebagai pemberhentian akhir bis yang kami tumpangi.
Perjalanan dari terminal ini dilanjutkan dengan angkot yang sudah setia menanti para pendaki. Nah para sopir angkot di daerah sini sudah dapat menebak destinasi kami, maklum kami membawa carrier yang sudah konon katanya adalah simbol utama para pendaki. Setelah tawar menawar harga perjalanan dilanjutkan. Angkot ini akan membawa kami sampai ke Simpang Cisurupan dan dari titik ini perjalanan dilanjutkan dengan  mobil bak terbuka. Meski kami harus berdesak-desakan, perjalanan ini tetap kami lalui dengan tawa-tawa renyah dan lepas. Seperti lepas dari beban hidup yang mendera setidaknya untuk 2 hari week end ini. Semakin lama jalanan semakin terjal dan berkelok menandakan kami telah berpindah elevasi. Bagian kiri dan kanan perjalanan hamparan hijau menghiasi. Udara mulai menusuk, tapi saya sangat menikmatinya. Angin dingin yang membelai wajah, dan hamparan hijau yang tertangkap mata, entah mengapa berakumulasi menjadi sebuah ketenangan. Damai…itu yang saya rasakan. Ini lah bagian yang selalu dirindu dari setiap petualangan dengan alam.  
Pandangan pertama di Papandayan... aku jatuh cinta 







Tak terasa sebuah plang selamat datang Gunung Papandayan terlihat. Pertanda kami sudah mulai memasuki kawasan Taman Nasional Gunung Papandayan, tempat kami akan berbagi cerita 2 hari ini. Lapangan parkir di Papandayan saat ini tertata sangat rapid an bersih. Sejak tahun 2016 kalo nga salah taman nasional ini sudah dikelola oleh swasta. Terasa sekali perbedaan suasananya. Sembari menunggu proses perizinan saya pun berjalan-jalan ke area cottage di area belakang gedung tiket. Seketika mata saya bersirobok dengan pemandangan yang menakjubkan. Dari kejauhan punggungan putih gunung Papandayan terlihat dipadu dengan pepohonan yang ditata ciamik serta gemircik air menghadirkan semponi alam nan sempurna. Banyak yang mengira bahwa foto ini saya ambil di Jepang.. heheh. “belum tahu mereka bahwa Garut menghadirkan pesona yang lebih dari Jepang”
Sapaan alam pertama sungguh menggoda. Puas berfoto, kami pun bersiap memulai cerita perjalanan selanjutnya. Mempersiapkan semua logistik, baik logistik makanan maupun logistik akomodasi per-tendah-an. Kami memutuskan untuk menghabiskan malam kami di tenda, demi memperdalam cumbuan kami pada alam semesta. Meskipun sebenarnya pengujung dapat menikmati keindahan Papandayan ini dengan one day trip tanpa menginap di tenda. Inilah salah satu daya tarik lain Gunung Papandayan menurut saya. Pengunjung yang ingin menikmati suasana gunung, tapi tidak mau repot dengan tetek-bengek pendakian dapat memilih gunung ini.
Rute pendakian Papandayan berbatu namun tertata dengan rapi
Gunung dengan ketinggian 2.665mdpl bahkan menurut sebagian besar orang adalah gunung yang relatif mudah pendakiannya. Semua sarana dan prasarana pendukung sudah tersedia dengan baik. Jalur dan rutenya sudah jelas dan sangat rapih. Sepanjang perjalanan kita menikmati jalan berbatuan, sisa letusan gunung ini beberapa tahun yang lalu. Bagi yang tidak mau repot dengan barang bawaan makanan, di beberapa titik pendakian terdapat penjual makanan. Namun bagi saya, gunung adalah gunung. Alam adalah alam, meskipun mudah medanya dan ketinggiannya tak seberapa, banyak hal tak terduga bisa terjadi. Jadi saya memang berprinsip tidak pernah memandang rendah sebuah tantangan destinasi alam. Pesiapan fisik dan jiwa selalu harus dipersiapkan sebaik mungkin.
            Papandayan menghadirkan pesona paripurna. Pesona pertama adalah pesona kawah mas yang menandakan aktivitas gunung api ini masih berlangsung. Kawah ini menghasilkan balerang. Pengunjung diharapkan untuk menggunakan masker, karena bau balerang kadang sangat menyengat. Asap-asap putih yang mengepul ke udara seolah-seolah menyajikan lukisan abstrak yang mampu menghibur pengunjung. Banyak pengunjung yang tidak mau kehilangan moment. Mereka mengabadikan keindahannya dan tentu akan mengabarkan pada dunia. 
Kawah Gunung Papandayan
Pesona lain Gunung Papandayan yang tidak ditemukan di gunung lain adalah hutan mati. Hutan yang ditumbuhi oleh pepohonan yang tak berdaun.. “Nah lho kok bisa ada pohon tak berdaun?”. “Penasarankan?”. Pepohonan di kawasan ini sudah tidak bisa tumbuh dan berkembang lagi akibat terkena larva letusan. Pohonnya pun berubah menjadi kehitaman. Banyak photographer mengabadikan keunikan hutam mati ini. Deretan pohon-pohon tanpa daun ini dan lengkungan ranting-rantingnya membentuk formasi alam dengan nilai seni maha tinggi. 
Hutan Mati
             Destinasi lain yang paling ingin dinikmati di Papandayan adalah padang Edelweiss Tegal Alun. Padang nan luas dan datar ini ditumbuhi oleh bunga abadi Edelweiss dengan laus diperkirakan sekitar 35 hektar dan dinobatkan sebagai padang Edelweiss terluas di Asia Tenggara. Edelweiss adalah bunga yang selalu dirindu dan diburu para pendaki. Nilai kepuasan yang tak mampu terkatakan ketika telah menyaksikan bunga keabadian ini. Seolah bunga-bunga ini mengucapkan selamat atas sebuah keberhasilan. Hamparan Edelweiss nan luas, sejauh mata memandang memadukan waran hijau, kuning dan putih ciamik. Tiupan angin nan mengayunkan bunga-bunga ini seolah menghadirkan seorang penari nan gemulai di mata kami. Tak pernah ada kata cukup untuk waktu menikmati Tegal Alun ini. Rasanya ingin berlama-lama di sini. Tapi perjalanan harus dilanjutkan karena di tempat ini memang dilarang untuk aktivitas perkemahan demi menjaga kelestarian. 
Tegal Alun
            Kami menikmati malam Papandayan di Pondok Salada. Tempat yang memang sudah disediakan pengelola untuk aktivitas perkemahan. Sarana pendukung pun sudah disiapkan di sini seperti sarana toilet dan kamar mandi. Rasanya bahagia sekali mendengarkan suara jangkrik malam dan menyaksikan taburan bintang di langit hitam nan pekat. Pemandangan yang sudah menjadi barang langka di kota-kota besar saat ini. It is simply beautiful.  Kadang bahagia memang sesederhana itu. Menikmati kebersamaan di tenda-tenda adalah nilai lain yang saya sukai. Sembari mempersiapkam makanan, kami pun menikmati berbagai cerita, keluh kesah, harapan dan kadang mimpi-mimpi.
            Kala pagi menyapa, udara gunung nan dingin rasanya seperti meninabobokan para pengunjung. Tapi tidak bagi saya. Saya segera bangun menikmati udara shubuh nan syahdu. Konon katanya ini adalah udara paling sehat yang pernah ada. Saya basuh dan usap muka ini dengan air dingin gunung. Terasa menusuk tapi sangat menyegarkan. Segera saya hamparkan sajadah dan mengumandangkan kebesaran Allah lewah melalui Salat Subuh. Salat nan berbeda, saat itu tak ada dinding pembatas saya dan pencipta. Saya ketukkan harapan dan doa di langit yang tak berbatas. “ Ya Allah kesempurnaanmu semakin kusaksikan di sini”. Guman ku lirih. 
Sun rise di Papandayan
            Perlahan pendaran jingga mulai terlihat. Maka saat itu pulah saya bersiap untuk menikmati pergatian malam menjadi siang. Menikmati matahari terbit memang selalu dinantikan oleh banyak orang. Pendaran jingga yang perlahan menyibak bumi pertanda pagi datang dan harapan baru harus dijelang. Lukisan yang tak akan mampu dilukiskan oleh pelukis ulung manapun.

Terima kasih Papandayan, Terima kasih  Garut.
Segala penat dan riuh kehidupan telah sirna bersama keindahan paripurna yang saya nikmati.
Bersiap menyambut hari baru, semangat baru dan mimpi baru.
Tunggu kami kembali suatu saat nanti…