30.1.12

ENTIKONG-TEBEDU; KITA DAN TETANGGA


Perbatasan dari kejauhan
Melanjutkan cerita yang tertunda tengtang negeri batas. Setelah menikmati malam di penginapan sekedarnya yang jauh dari kata layak, pagi itu kami coba mengamati kehidupan sekitar Entikong. Penginapan kami hanya berjarak 50 meter dari perbatasan. Ini sungguh memudahkan kami untuk mengamati kehidupan di negeri batas. Pemandangan pertama yang kami liat adalah kantor imigrasi dan kantor karantina pertanian dimana salah seorang temanku bertugas. Kantor imigrasinya tergolong cukup sederhana dibandingkan kantor imigrasi disebelahnya. Dari wajah dan tampang petugas di sana  secara kasat mata pun terlihat bahwa mereka memang lebih baik dari kita. Tapi cukup disayangkan tempat ini tidak boleh diabadikan dalam bidikan kamera. ketika aku mengeluarkan kamera seorang petugas disana langsung menghampiri ku dan menyampaikan larangannya. sampai saat ini masih belum menemukan jawaban kenapa  tidak diperbolehkan mengabadikan gambar di daerah ini. 


Kantor Karantina Pertanian Entikong
Kantor Imigrasi di perbatasan ENTIKONG-TEBEDU


Setelah mengamati bangunan di negeri batas ini kami pun mengamati masyarakat yang lalu lalang di pintu batas ini. Setelah bertanya-tanya pada beberapa orang ternyata mereka adalah penduduk Entikong yang akan berangkat kerja di negara sebelah. Info lain menyebutkan mereka kebanyakan bekerja pada sektor perkebunan terutama sawit.  Keren yah mereka, kerja aja harus beda negara. :p  Dan yang lebih menyedihkan adalah bahwa di negeri batas ini bahasa melayu malaysia lebih kentara terdengar dibandingkan bahasa indonesia atau bahasa dayak. Transaksi perdagangan pun lebih banyak menggunakan ringgit dibandingkan dengan rupiah. Sebagian dari masyarakatpun lebih memilih untuk berbelanja ke kota Khucing dibandingkan Pontianak. disamping harganya murah, akses ke kota Kuching pun terasa lebih mudah dibandingkan ke kota Pontianak. 
Suasana Perbatasan yang sempat terekam
Yaps inilah yang banyak di alami oleh masyarakat di perbatasan. Tentang rasa Nasionalisme dan tuntutan kehidupan. Negeri-negeri kita di ujung-ujung peradaban memang harus di akui jauh tertinggal dari tetamgga sebelah. Jauh dari kata layak secara kemanusiaan. ketika mereka mencoba mencari penghidupan ke negeri tetangga mereka pun diklaim tidak nasionalis. Dilema penduduk perbatasan kelangsungan hidup atau hidup dalam keterbatasan demi sebuah kata nasionalisme?

Pada negeri batas inilah sejatinya kita bisa melihat siapa dan bagaimana kita dibandingkan tetangga. Yang pasti jika berdiri di garis batas Entikong ke arah kota Kuching, kita bisa melihat jalanan yang rapi, mulus dan indah  tapi jika kita coba memutar badan ke arah Pontianak pemandangan sebaliknyalah yang akan kita lihat. Inilah cerita yang harus menjadi pelajaran terutama buat ku bahwa kita ternyata masih sangat jauh tertinggal dari negeri tetangga ini. Dan saya akhirnya memahami mengapa orang-orang di negeri batas ini lebih memilih menghabiskan hidupnya untuk negara tetangga. 
Menju Entikong
Dan tiba-tiba aku pun tertegun siapakah yang peduli mereka? kapankah peradaban di perbatasan ini akan berubah...hmmmmmm saat ini hanya  cuma bisa mereniung. belum bisa lebih dari itu...:D
(catatan perbatasan, April 2011)
Armada Tua Pontianak_ENTIKONG

27.1.12

DIALOG KECIL DENGAN MEREKA

Huaha waktu sudah mengalir saja ke tahun 2012. Tiba-tiba aku  tersentak dan sedikit terkaget. Begitu cepat dan teramat cepat. Sementara masih banyak ceceran mimpi, tugas, hutang dan tanggung jawab yang masih harus diselesaikan. Lagi-lagi hanya berguman andaikan waktu yang kita miliki lebih banyak dari tugas dan tanggung jawab yang kita punya. hu..hu...berdoa dan berharap semoga menjadi manusia yang lebih bijak dan efektif memanfaatkan waktu... toh dalam kitab suciku Allah pun telah menyampaikan pesannya untuk kita...tapi lagi- lalai dan lalai.

Lalu suatu siang beberapa waktu yang lalu, profesorku  tiba-tiba bertanya, bagaimana tahun 2011 bagi hidupmu. Tertegun sebentar mencoba menelaah pertanyaan pak prof. karena nga nyangka pertanyaan itu keluar dari mulutnya.  biasanya selalu bertanya nga jauh-jauh tentang report dan paper.   kujawab pertanyaan yang masih terasa asing itu, sebenarnya lebih ke curcol sih..he..he..(aji mumpung ...ada yang dengarin gundahan hati :P ).  "Jika ku coba mengkalkulasi hanya 30 % dari mimpi dan harapan yang terwujud di tahun 2011. sempat kecewa dan   bahkan sempat sedikit berputus asa. but come what may, i would do the best. Tapi luar biasa pak , aku mendapatkan sesuatu yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Ini akhirnya mampu menghapus kekecewaan dihati. Akhirnya saya percaya akan kata-kata keadilan pak, gagal di satu bagian,  insyallah dipermudah dibagian yang lain".Si bapak hanya manggut-manggut mendengarkan curhatan nga jelas dari ku. Tapi setelah itu si bapak kembali bertanya report yang selalu membuatku pusing...hu..hu....

Tak lama setelah itu tiba-tiba si bapak melanjutkan pertanyaannya...then what next plan?  dan tidakkah kamu memikirkan untuk segera menikah?. Huaha pertanyaan ini terasa lebih memusingkan dari report dan paper. Hanya bisa tersenyum dan terdiam menanggapi pertanyaan si bapak. "semua akan datang, jika kamu dinilai sudah siap untuk menjalaninya"  si bapak menimpali. Timpalan si bapak  mengakhiri pertemuan siang itu...Dalam hati aku berguman; berarti aku memang belum siap yah untuk menjalaninya... 

Dialog kecil inilah yang kadang dibelakannya membawa ku pada pikiran panjang. termasuk dengan orang-orang yang setia dan tulus membimbingku. celoteh sederhana yang kadang hanya disampaikan dengan kata singkat dan sulit dimengerti. Tapi itulah cara mereka mengajariku.