Perbatasan dari kejauhan |
Melanjutkan cerita yang tertunda tengtang negeri batas. Setelah menikmati malam di penginapan sekedarnya yang jauh dari kata layak, pagi itu kami coba mengamati kehidupan sekitar Entikong. Penginapan kami hanya berjarak 50 meter dari perbatasan. Ini sungguh memudahkan kami untuk mengamati kehidupan di negeri batas. Pemandangan pertama yang kami liat adalah kantor imigrasi dan kantor karantina pertanian dimana salah seorang temanku bertugas. Kantor imigrasinya tergolong cukup sederhana dibandingkan kantor imigrasi disebelahnya. Dari wajah dan tampang petugas di sana secara kasat mata pun terlihat bahwa mereka memang lebih baik dari kita. Tapi cukup disayangkan tempat ini tidak boleh diabadikan dalam bidikan kamera. ketika aku mengeluarkan kamera seorang petugas disana langsung menghampiri ku dan menyampaikan larangannya. sampai saat ini masih belum menemukan jawaban kenapa tidak diperbolehkan mengabadikan gambar di daerah ini.
Kantor Karantina Pertanian Entikong |
Kantor Imigrasi di perbatasan ENTIKONG-TEBEDU |
Setelah mengamati bangunan di negeri batas ini kami pun mengamati masyarakat yang lalu lalang di pintu batas ini. Setelah bertanya-tanya pada beberapa orang ternyata mereka adalah penduduk Entikong yang akan berangkat kerja di negara sebelah. Info lain menyebutkan mereka kebanyakan bekerja pada sektor perkebunan terutama sawit. Keren yah mereka, kerja aja harus beda negara. :p Dan yang lebih menyedihkan adalah bahwa di negeri batas ini bahasa melayu malaysia lebih kentara terdengar dibandingkan bahasa indonesia atau bahasa dayak. Transaksi perdagangan pun lebih banyak menggunakan ringgit dibandingkan dengan rupiah. Sebagian dari masyarakatpun lebih memilih untuk berbelanja ke kota Khucing dibandingkan Pontianak. disamping harganya murah, akses ke kota Kuching pun terasa lebih mudah dibandingkan ke kota Pontianak.
Suasana Perbatasan yang sempat terekam |
Yaps inilah yang banyak di alami oleh masyarakat di perbatasan. Tentang rasa Nasionalisme dan tuntutan kehidupan. Negeri-negeri kita di ujung-ujung peradaban memang harus di akui jauh tertinggal dari tetamgga sebelah. Jauh dari kata layak secara kemanusiaan. ketika mereka mencoba mencari penghidupan ke negeri tetangga mereka pun diklaim tidak nasionalis. Dilema penduduk perbatasan kelangsungan hidup atau hidup dalam keterbatasan demi sebuah kata nasionalisme?
Pada negeri batas inilah sejatinya kita bisa melihat siapa dan bagaimana kita dibandingkan tetangga. Yang pasti jika berdiri di garis batas Entikong ke arah kota Kuching, kita bisa melihat jalanan yang rapi, mulus dan indah tapi jika kita coba memutar badan ke arah Pontianak pemandangan sebaliknyalah yang akan kita lihat. Inilah cerita yang harus menjadi pelajaran terutama buat ku bahwa kita ternyata masih sangat jauh tertinggal dari negeri tetangga ini. Dan saya akhirnya memahami mengapa orang-orang di negeri batas ini lebih memilih menghabiskan hidupnya untuk negara tetangga.
Menju Entikong |
Dan tiba-tiba aku pun tertegun siapakah yang peduli mereka? kapankah peradaban di perbatasan ini akan berubah...hmmmmmm saat ini hanya cuma bisa mereniung. belum bisa lebih dari itu...:D
(catatan perbatasan, April 2011)
Armada Tua Pontianak_ENTIKONG |
yell gimana kabarnya
BalasHapusblogpotku ganti karena sesuatu hal..
inget teman samping mejamu di lembang, sumberdaya kan
saya salut kepada masyarakat Indonesia di Entikong karena mereka adalah benteng hidup perbatasan, semoga dikaruniai mental yang kuat dalam menghadapai segala godaan moril dan materiil yang datangnya dari negara tetangga kita. Tegakan Merah Putih dan Garuda didada kita.
BalasHapusJadi ingat (entah baca di mana), usulan JK, capres waktu itu, bahwa untuk memperkuat pertahanan di batas, harus membangun daerah perbatasan. Saya pikir, benar juga yaa...
BalasHapus