Meskipun tinggal di Jawa Barat, tak banyak yang
saya tau tentang Garut. Dan mungkin itu pulalah yang membuat nama Garut tak pernah
terulis dalam list tempat yang ingin saya kunjungi. Seperti sudah menjadi
kebiasaan, setiap awal tahun saya memang selalu menulis tempat-tempat yang
ingin saya jambangi. Saya anggap itu sebagai doa, yang semoga terdengar oleh
langit dan diaminkan oleh bumi.
Hingga sampailah pada suatu hari, seorang teman di
sebuah group perjalanan mengajak share trips
ke salah satu destinasi wisata di Garut tepatnya Gunung Papandayan. Tanpa pikir
panjang,saya memutuskan untuk bergabung dengan trip itu, bukan karena sudah
mengerti destinasinya, tapi karena pada waktu itu saya memang belum punya
rencana kegiatan apapun. “pasti akan ada cerita berbeda dari setiap perjalanan,
so why not”, Guman saya memutuskan. Yah kadang destinasi bagi saya bukanlah
tujuan akhir, tapi saya lebih menikmati perjalanannya.
Dari terminal Kampung rambutan, saya memulai cerita
dan kisah tentang Garut. Sebagian dari travelmate
saya kali ini sudah saya kenal namun ada pula beberapa wajah baru. Meskipun
baru bertatap wajah saat itu, namun kami sebenarnya sudah jauh bercengkerama
melalui group online di beberapa media sosial guna mempersiapkan rencana
perjalanan kami. Karena sifatnya share
trip maka kami memang memerlukan kerja sama sebagai tim untuk
mempersiapakan segala akomodasi perjalanan kami.
Puluhan menit setelah bus melaju, kami masih tertawa
bercerita bermacam rupa. Bola mata saya pun semakin berat, tak mampu lagi
menahan kantuk. Meskipun suasana masih ramai dengan cerita dan gelak tawa,
pelan tapi pasti saya memasuki alam mimpi. Sebuah klakson panjang membangunkan
saya dari tidur yang kata teman saya seperti orang pingsan. Setengah sadar saya
menyaksikan lingkungan sekitar, ternyata sudah shubuh dan dalam bilangan menit
kami akan sampai di Terminal Guntur sebagai pemberhentian akhir bis yang kami
tumpangi.
Perjalanan dari terminal ini dilanjutkan dengan
angkot yang sudah setia menanti para pendaki. Nah para sopir angkot di daerah
sini sudah dapat menebak destinasi kami, maklum kami membawa carrier yang sudah konon katanya adalah simbol
utama para pendaki. Setelah tawar menawar harga perjalanan dilanjutkan. Angkot
ini akan membawa kami sampai ke Simpang Cisurupan dan dari titik ini perjalanan
dilanjutkan dengan mobil bak terbuka.
Meski kami harus berdesak-desakan, perjalanan ini tetap kami lalui dengan
tawa-tawa renyah dan lepas. Seperti lepas dari beban hidup yang mendera
setidaknya untuk 2 hari week end ini.
Semakin lama jalanan semakin terjal dan berkelok menandakan kami telah
berpindah elevasi. Bagian kiri dan kanan perjalanan hamparan hijau menghiasi. Udara
mulai menusuk, tapi saya sangat menikmatinya. Angin dingin yang membelai wajah,
dan hamparan hijau yang tertangkap mata, entah mengapa berakumulasi menjadi
sebuah ketenangan. Damai…itu yang saya rasakan. Ini lah bagian yang selalu dirindu
dari setiap petualangan dengan alam.
Pandangan pertama di Papandayan... aku jatuh cinta |
Tak terasa sebuah plang selamat datang Gunung
Papandayan terlihat. Pertanda kami sudah mulai memasuki kawasan Taman Nasional
Gunung Papandayan, tempat kami akan berbagi cerita 2 hari ini. Lapangan parkir di
Papandayan saat ini tertata sangat rapid an bersih. Sejak tahun 2016 kalo nga
salah taman nasional ini sudah dikelola oleh swasta. Terasa sekali perbedaan
suasananya. Sembari menunggu proses perizinan saya pun berjalan-jalan ke area
cottage di area belakang gedung tiket. Seketika mata saya bersirobok dengan
pemandangan yang menakjubkan. Dari kejauhan punggungan putih gunung Papandayan
terlihat dipadu dengan pepohonan yang ditata ciamik serta gemircik air menghadirkan
semponi alam nan sempurna. Banyak yang mengira bahwa foto ini saya ambil di
Jepang.. heheh. “belum tahu mereka bahwa Garut menghadirkan pesona yang lebih
dari Jepang”
Sapaan alam pertama sungguh menggoda. Puas berfoto,
kami pun bersiap memulai cerita perjalanan selanjutnya. Mempersiapkan semua logistik,
baik logistik makanan maupun logistik akomodasi per-tendah-an. Kami memutuskan
untuk menghabiskan malam kami di tenda, demi memperdalam cumbuan kami pada alam
semesta. Meskipun sebenarnya pengujung dapat menikmati keindahan Papandayan ini
dengan one day trip tanpa menginap di
tenda. Inilah salah satu daya tarik lain Gunung Papandayan menurut saya. Pengunjung
yang ingin menikmati suasana gunung, tapi tidak mau repot dengan tetek-bengek
pendakian dapat memilih gunung ini.
Rute pendakian Papandayan berbatu namun tertata dengan rapi |
Gunung dengan ketinggian 2.665mdpl bahkan menurut
sebagian besar orang adalah gunung yang relatif mudah pendakiannya. Semua
sarana dan prasarana pendukung sudah tersedia dengan baik. Jalur dan rutenya
sudah jelas dan sangat rapih. Sepanjang perjalanan kita menikmati jalan
berbatuan, sisa letusan gunung ini beberapa tahun yang lalu. Bagi yang tidak
mau repot dengan barang bawaan makanan, di beberapa titik pendakian terdapat
penjual makanan. Namun bagi saya, gunung adalah gunung. Alam adalah alam,
meskipun mudah medanya dan ketinggiannya tak seberapa, banyak hal tak terduga bisa
terjadi. Jadi saya memang berprinsip tidak pernah memandang rendah sebuah
tantangan destinasi alam. Pesiapan fisik dan jiwa selalu harus dipersiapkan
sebaik mungkin.
Papandayan
menghadirkan pesona paripurna. Pesona pertama adalah pesona kawah mas yang
menandakan aktivitas gunung api ini masih berlangsung. Kawah ini menghasilkan
balerang. Pengunjung diharapkan untuk menggunakan masker, karena bau balerang
kadang sangat menyengat. Asap-asap putih yang mengepul ke udara seolah-seolah
menyajikan lukisan abstrak yang mampu menghibur pengunjung. Banyak pengunjung
yang tidak mau kehilangan moment. Mereka mengabadikan keindahannya dan tentu
akan mengabarkan pada dunia.
Kawah Gunung Papandayan |
Pesona lain Gunung Papandayan yang tidak ditemukan
di gunung lain adalah hutan mati. Hutan yang ditumbuhi oleh pepohonan yang tak
berdaun.. “Nah lho kok bisa ada pohon tak berdaun?”. “Penasarankan?”. Pepohonan
di kawasan ini sudah tidak bisa tumbuh dan berkembang lagi akibat terkena larva
letusan. Pohonnya pun berubah menjadi kehitaman. Banyak photographer mengabadikan keunikan hutam mati ini. Deretan
pohon-pohon tanpa daun ini dan lengkungan ranting-rantingnya membentuk formasi
alam dengan nilai seni maha tinggi.
Hutan Mati |
Destinasi lain yang
paling ingin dinikmati di Papandayan adalah padang Edelweiss Tegal Alun. Padang
nan luas dan datar ini ditumbuhi oleh bunga abadi Edelweiss dengan laus diperkirakan
sekitar 35 hektar dan dinobatkan sebagai padang Edelweiss terluas di Asia
Tenggara. Edelweiss adalah bunga yang selalu dirindu dan diburu para pendaki.
Nilai kepuasan yang tak mampu terkatakan ketika telah menyaksikan bunga
keabadian ini. Seolah bunga-bunga ini mengucapkan selamat atas sebuah keberhasilan.
Hamparan Edelweiss nan luas, sejauh mata memandang memadukan waran hijau,
kuning dan putih ciamik. Tiupan angin nan mengayunkan bunga-bunga ini seolah
menghadirkan seorang penari nan gemulai di mata kami. Tak pernah ada kata cukup
untuk waktu menikmati Tegal Alun ini. Rasanya ingin berlama-lama di sini. Tapi
perjalanan harus dilanjutkan karena di tempat ini memang dilarang untuk
aktivitas perkemahan demi menjaga kelestarian.
Tegal Alun |
Kami menikmati malam
Papandayan di Pondok Salada. Tempat yang memang sudah disediakan pengelola
untuk aktivitas perkemahan. Sarana pendukung pun sudah disiapkan di sini
seperti sarana toilet dan kamar mandi. Rasanya bahagia sekali mendengarkan suara
jangkrik malam dan menyaksikan taburan bintang di langit hitam nan pekat.
Pemandangan yang sudah menjadi barang langka di kota-kota besar saat ini. It is simply beautiful. Kadang bahagia memang sesederhana itu. Menikmati
kebersamaan di tenda-tenda adalah nilai lain yang saya sukai. Sembari
mempersiapkam makanan, kami pun menikmati berbagai cerita, keluh kesah, harapan
dan kadang mimpi-mimpi.
Kala pagi menyapa,
udara gunung nan dingin rasanya seperti meninabobokan para pengunjung. Tapi
tidak bagi saya. Saya segera bangun menikmati udara shubuh nan syahdu. Konon
katanya ini adalah udara paling sehat yang pernah ada. Saya basuh dan usap muka
ini dengan air dingin gunung. Terasa menusuk tapi sangat menyegarkan. Segera
saya hamparkan sajadah dan mengumandangkan kebesaran Allah lewah melalui Salat
Subuh. Salat nan berbeda, saat itu tak ada dinding pembatas saya dan pencipta.
Saya ketukkan harapan dan doa di langit yang tak berbatas. “ Ya Allah
kesempurnaanmu semakin kusaksikan di sini”. Guman ku lirih.
Sun rise di Papandayan |
Perlahan pendaran
jingga mulai terlihat. Maka saat itu pulah saya bersiap untuk menikmati
pergatian malam menjadi siang. Menikmati matahari terbit memang selalu
dinantikan oleh banyak orang. Pendaran jingga yang perlahan menyibak bumi
pertanda pagi datang dan harapan baru harus dijelang. Lukisan yang tak akan
mampu dilukiskan oleh pelukis ulung manapun.
Terima kasih Papandayan, Terima kasih
Garut.
Segala penat dan riuh kehidupan telah sirna bersama keindahan
paripurna yang saya nikmati.
Bersiap menyambut hari baru, semangat baru dan mimpi baru.
Tunggu kami kembali suatu saat nanti…