6.12.11

ENTIKONG_TEBEDU;CERITA NEGERI BATAS


-->
Entah mengapa Garis batas bagiku adalah sesuatu yang menarik. Sedikit terinspirasi oleh  kumpulan catatan perjalanan "Garis Batas" kang Agustinus Wibowo yang bercerita tentang garis batas di Timur Tengah . Dahsyat memanng.. Buku ini bercerita tentang dunia yang utuh namun tercerai berai oleh politik, perang, budaya, geografi bahkan kadang agama. Sempat berhayal dan berimajinasi konyol tentang dunia yang tak terkotak  dalam bentuk negara dan bangsa. everyone can go anywhere without passport  and  visa..he..he...(visa: masalah  utama para traveler)

Garis Batas Tepedu Entikong

Lalu bagaimana dengan garis batas di negera kita tercinta ini.  Perbatasan laut mungkin tidak se unik perbatasan darat. Laut telah  menjadi pembatas yang nyata bagi negara kita  dan negara tetangga. Namun sebaliknya pada Garis batas darat kita  menyaksikan secara nyata sebuah aris yang benar-benar memisahkan manusia dalam budaya dan aturan yang sungguh berbeda.  Bahkan di pulau sebatik Kalimantan Timur ada sebuah rumah penduduk  masuk dalam administrasi 2 negara. unikya..he..he..Sebuah sensasi yang memang harus ku rasakan. Setidaknya  ada tiga garis batas darat yang telah  masuk  dalam daftar tempat yang harus ku kunjungi, Entikog-Tepedu, Papua-PNG dan Atambua-timor leste. Semoga terkabul Amin.

Dan Akhirnya Bulan April 2011 kemaren saya merasakan salah satu sensasi garis batas  itu  Entikong-Tepedu. Berbekal Informasi dari Pak Wawan, seorang teman prajabatan yang  bertugas di karantina pertanian Entikong, Aku dan seorang teman yang kebetulan bernama yeli juga tapi beda spelling 'Yelly (duo yeli je..) memulai perjalanan ini. Sayang pada saat kedatangan ke Entikong Pak Wawan sedang training di Bandung. Tapi itu tak masalah bagi kami.

Perjalanan yang sudah kami rencanakan ini ternyata tak berjalan mulus. Yellly, my buddy ternyata ketinggalan tiket pesawatnya...Alhamdulilah masalah itu teratasi karena Yelly masih ingat kode bookingnya. Di itinerary yang kami buat,  Kami  terbang ke Pontianak dengan penerbangan sore dan berencana malam harinya pukul 21.00 langsung menuju Entikong dengan pilihan beberapa armada bis (prefer menggunakan Damri). Tapi rencana tinggal rencana. Setelah masuk boarding gate, Yelly  baru sadar bahwa pasportnya ketinggalan.  Beruntung pesawat delay 1 jam, Yelly nekat untuk kembali ke kosan untuk mengambil pasporntya itu. Nasib memang belum berkata baik, sampai pesawat take off yelly pun  tak muncul. sesat sebelum take off  ku sempat menghubungi Yelly . Informasi yang kudapat Yelily terjebak macet parah. Tapi yelly meyakinkan ku bahwa dia akan menyusul dengan penerbangan yang paling pagi esok harinya.
Sudah Jatuh Tertimpa tangga pula, itulah kata yang tepat menggambarkan nasib Yelly Inilah pelajaran moral kehidupan bahwa kelalain sekecil apapun itu fatal akibatnya. Yelliy telah mengeluarkan uang 150 ribu untuk menyewa sebuah ojeg dan terpaksa membayar harga tiket 2 kali  harga tiket semula. Dan mungkinn yang tak terlupakan adalah malam itu harus tidur di Bandara. Pengalaman yang tak terlupakan. Akhirnya aku pun harus iklas dan rela menunggu Yelliy esok harinya.

Tepat pukul 9 malam aku mendarat di Supadio. Setelah  tanya sana-sini akhirnya aku menginap di hotel sederhana Hotel Khatulistiwa  tepatnya. Beruntung menemukan sopir taksi yang sangat baik. seorang bapak yang akhirnya menjadi guide.  Tak banyak yang kulakukan malam itu, berbersih, SHolat dan langsung istirahat.  

Esok harinya  Jam 9  pagi  yelly sampai di hotel tempatku menginap. Wajahnya terlihat amat dan teramat kucel. maklum malam itu yeli memilih untuk tidak tidur demi kesalamatan katanya. Dan ternyata tak sempat mandi pula..Senyum dan iba dua ekspresi itu akhirnya muncul setelah Yelly menceritakan semuanya. Pelajaran paling berharga dalam hidup kadang  memang terlahir dari pengalaman konyol. semoga kejadian ini tak terulangi...

Dan kekonyolan belum selesai. Demi tiket murah untuk kembali ke Jakarta, kami  membeli tiket atas nama orang lain yang batal berangkat.. Sempat bimbang awalnya karena salah satunmya atas nama laki-laki.  karena tak lagi punya money kami pun sepakat membelinya. Maklumlah  harganya setengah dari harga tiket resmi saat itu. Demi keamanan,  Mba-mba penjaga travel itu akhirnya mencity cek in kan tiket kami.  Sepandai-pandainya tupai melompat, pasti jatuh jua.  Kami berhasil masuk bandara dengan selamat...tapi jeng..jeng ketika masuk boarding gate, seorang petugas memperhatikan dengan seksama boarding pass ku, dan dengan tatapan aneh sang petugas pun bertanya. "lho ini kok namanya laki-laki"...dalam hati ku berguman " tamat deh riwayatku". Dewi fortuna masih berpihak pada ku  Sang petugas mengizinkan setelah tiba-tiba aku mengatakan bahwa tiket itu adalah tiket suamiku yang batal berangkat dan sayang kalo tidak digunakan. Konyol dan benar-benar konyol. Merasa teramat berdosa melakukan ini.. semoga Allah mengampuniku. Amin

Menuju Entikong

Karena semua armada darat menuju Entikong beroperasi malam hari, maka siang itu kami habiskan untuk mengexplore kota Pontianak dan menikmati beberapa kulinernya. Es nona dan es lidah buaya salah duanya. Tak banyak memang yang bisa di nikmati di kota khatulistiwa ini. Tempat yang pertama  kami tuju tentu dan jelas adalah tugu khatulistiwa. Konon katanya nga afdhal kalo ke pontianak  jika tidak  bertandang ke tugu khatulistiwa.  killing the time, kami pun sempat mengunjungi beberapa museum.. Bada' magrib kami kembali menjadi gelandang di sebuah mesjid. Beristirahat sejenak  menunggu Travel yang akan menjemput kami.

Dan perjalanan Pontianak_Entikong dimulai. Tak banyak yang bisa kami nikmati dalam perjalanan ini. Maklum sudah malam. Menelusuri jalanan panjang yang sebagian besar masih jauh dari kata layak. Hamparan perkebunan sawit adalah pemandangan utamanya. Yaps lahan gambut kita memang telah dirubah secara besar-besaran menjadi lahan sawit. Dengan kondisi jalan seperti itu, susah sekali memang untuk tidur nyenyak. Akhirnya kucoba menikmati perjalanan dengan  bercerita dan  mendengarkan   seksama percakapan penumpang lainnya. Aku pun berkesimpulan bahwa 2 orang  di dalam travel itu adalah TKW dan satu lainnya penyalurnya. Aku pun mulai mecoba mengali informasi lebih banyak tentang  dunia perte KWAan. Mereka kelihatan sangat hati-hati sekali menjawab setiap pertanyaanku.  Kesempatan baik untuk melihat bagaimana  hitam dan putihnya cerita TKW  yang  memang tak pernah habis.

Setelah menerima telpon dari rekannya, Sopir travel yang kami tumpangi tiba-tiba gelisah dan mewanti-wanti penumpangnya agar waspada. Ternyata ada razia TKW di salah satu kantor kepolisian. Bila ketauan membawa TKW ilegal maka penyalur  dan sopir akan berurusan dengan yang namanya duit dan penjara. Jika mereka bisa memberikan uang sesuia yang diminta para aparat itu maka mereka di bebaskan dan jika tidak maka para TKW tidak diizinkan oleh pihak kepolisian menuju negara tetangga. Mereka akan di tahan dan  setelah itu terserah polisinya. Mobil sang sopir pun akan di tahan. dan harus ditebus dengan tebusan yang aduhai...keserakahan manusia atas harapan dan mimpi-mimpi orang lain (TKW tepatnya). Kasian sekali mereka sudah diperas penyalur, pun harus diperas oleh oknum polisi.

Dan ternyata benar adanya. Ada razia. dan demi melindungi penumpangnya yang TKW ini, aku lah yang diminta pak sopir untuk menghadapi sang polisi. Karena sopir itu memang tau bahwa tujuanku hanyalah akan melancong bukan untuk menjadi TKW. Berhadapan dengan polisi  intinya aku ditanya mau kemana dan mengapa. setelah ku jawab jujur pak polisi tak percaya. Eh pak sopir malah tiba-tiba menyeletuk bahwa saya adalah orang kementan yang sedang dinas ke Karantina Entikong. Faktanya adalah orang orang kementan yang sedang melancong (he..he..) Pak polisi akhirnya memaksa ku untuk  menujukkann surat  penugsana .  bingung, memang tidak ada surat tugas karena memang bukan perjalanan dinas. Setelah mampu menunjukkan bahwa aku adalah PNS dan memperlihatkan tiket pulang kejakarta  mereka akhinya pun percaya.. 

Dini hari kami sampai di Entikong. Letih luar biasa. Merasa masih butuh istirahat kami pun menyewa sebuah kamar yang jauh dari kata layak  berjarak  sekitar  200 meter dari pintu perbatasan. Tak ada pilihan lain , ini satu-satunya penginapan yang kami  tau ada di sini. Desa ini terasa kota mati memang. Tak ada kasur tebal je, cuma ada kasur palembang yang tipis dan dinding kamar yang masih belum di plester , ruat dan kasarnya batako harus kami nikmati dalam lelah malam itu\.  Tapi sebandinglah dengan harga yang  hanya Rp.25.000 untuk dua orang. Penginapan ini menjadi cerita pertama kami di Entikong ...cerita kedua, ketiga dan seterusnya???? tunggu cerita selanjutnya :D
kompleks keimigrasian Tepedu Malaysia.